PARADIGMA SEHAT
DAN
PROMOSI KESEHATAN DI SAAT KRITIS
- PENDAHULUAN
Sampai saat ini di banyak negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia apabila berbicara masalah kesehatan pada umumnya asosiasi kita tertuju pada pengobatan penyakit, rumah sakit, puskesmas, poliklinik, sehingga pembiayaan rumah sakit dan pembiayaan penanganan orang sakit merupakan komponen utama pembiayaan upaya kesehatan. Penanganan kesehatan penduduk masih berupa program-program konvensional masih menekankan pada pengembangan rumah sakit - rumah sakit, penanganan penyakit secara individual, spesialistis terutama penanganan peristiwa sakit secara episodik.
Program kesehatan yang mengutamakan upaya kuratif dalam jangka panjang tidak menguntungkan. Oleh karena berapapun besar biaya yang disediakan akan tetap kurang, oleh karena permintaan akan pelayanan medis kuratif akan selalu meningkat. Upaya kesehatan kuratif khususnya rumah sakit akan cenderung berkumpul di tempat yang banyak uang, yaitu di kota-kota besar saja. Upaya kesehatan yang bersifat kuratif tidak akan membawa masyarakat ke sehat produktif secara lebih cost efektif. Hal ini menyebabkan upaya kesehatan yang berorientasi kuratif dari segi ekonomi bersifat konsumtif tidak produktif.
Dipandang dari segi ekonomi melakukan investasi pada orang yang tidak atau belum sakit lebih “cost effective” daripada terhadap orang sakit karena investasi pada orang “sehat” dan orang ”tidak sakit” lebih dekat ke produktivitas ketimbang investasi pada orang sakit.
- APA YANG DIMAKSUD DENGAN PARADIGMA?
Dalam makna yang lebih popular dapat diartikan visi serta orientasi kita terhadap realitas. Paradigma berkembang sebagai hasil sintesa dalam kesadaran manusia terhadap berbagai informasi yang diperolehnya apakah dari pengalaman ataupun dari penelitian.
- KONSEP BARU TENTANG MAKNA SEHAT
Setelah ditemukan kuman penyebab penyakit, batasan sehat juga berubah, seseorang disebut sehat apabila setelah diadakan pemeriksaan secara seksama tidak ditemukan penyebab penyakit. Tahun lima puluhan definisi WHO tentang sehat sebagai keadaan sehat sejahtera fisik mental sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan, dan tahun delapan puluhan kemudian definisi sehat WHO mengalami perubahan seperti yang tertera dalam UU Kesehatan RI no 23 tahun 1992 telah memasukkan unsur hidup produktif sosial dan ekonomi.
Definisi terkini yang dianut di beberapa negara maju seperti Canada yang mengutamakan konsep sehat produktif, sehat adalah sarana atau alat untuk hidup sehari-hari secara produktif. Tanpa kesehatan yang memadai seseorang tidak bisa berkarya secara produktif. Upaya kesehatan harus diarahkan untuk dapat membawa setiap penduduk memiliki kesehatan yang cukup agar bisa hidup produktif. Kesehatan bersama dengan pendidikan dan rasa aman merupakan dasar dari “human capital”
- PARADIGMA BARU KESEHATAN
untuk meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Selama tiga dekade terakhir ini khususnya setelah deklarasi Alma Ata, HFA Year 2000 (1976) pertemuan Mexico (1990) dan Saltama (1991), perhatian para ahli kesehatan dan pembuat kebijakan secara bertahap beralih dari orientasi sakit ke orientasi sehat. Perubahan orientasi tersebut antara lain disebabkan oleh karena:
- Transisi epidemiologi pergeseran angka kesakitan dan kematian yang semula disebabkan oleh penyakit infeksi ke penyakit kronis degeneratif dan kecelakaan
- Perubahan konsep dari cartesian ke holistik filosofi.
- Batasan tentang sehat dari keadaan atau kondisi ke alat /sarana
- Makin jelasnya pemahaman kita tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan penduduk.
Lalondo (1974) dan diperkuat Hendrik L. Bluum (1974) dalam tulisannya secara jelas menyatakan bahwa status kesehatan penduduk bukanlah merupakan hasil pelayanan medis semata-mata akan tetapi faktor-faktor lain seperti lingkungan, perilaku dan genetika justru lebih
menentukan terhadap status kesehatan penduduk.
Sayangnya bahwa perubahan pemahaman dan pengetahuan tentang determinan kesehatan tersebut, meskipun jelas-jelas mempunyai nilai positif tidak segera diikuti dalam perubahan kebijakan dalam upaya pelayanan kesehatan di Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan bahwa para pengambil keputusan di tingkat pusat dalam sektor kesehatan belum memahami akan perubahan paradigma yang terjadi setelah tahun tujuh puluhan . Bahkan walaupun GBHN 1993 tujuan program kesehatan telah berubah namun upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah belum berubah juga, hal ini terlihat dengan belum ditanganinya pembuatan sejumlah PP yang penting dalam UU Kesehatan No. 23 1992, terutama yang berkaitan dengan upaya promotif dan preventif.
Upaya kesehatan yang berorientasi pada penanggulangan penyakit, indikator yang yang sering digunakan adalah cakupan pelayanan, ratio dokter per penduduk serta banyaknya rumah sakit, banyaknya Puskesmas dan sebagainya.
Sebenarnya apabila kita mau berpikir secara kritis, banyaknya dokter, rumah sakit, puskesmas dan balai pengobatan tidak menjamin masyarakat menjadi sehat. Upaya kesehatan dengan pendekatan penyembuhan penyakit membuat upaya kesehatan dinilai sebagai konsumtif bukan produktif dan menempatkan pelayanan kesehatan di arus pinggir dari pembangunan. Perubahan paradigma upaya kesehatan secara nyata seharusnya sudah harus dimulai sejak berlakunya GBHN 1993 sejak pemerintah menginginkan bahwa upaya kesehatan ditujukan untuk membentuk SDM yang berkualitas.
Oleh karena itu pemerintah sekarang perlu segera merencanakan perubahan upaya kesehatan yang berorientasi pada pembinaan kesehatan bangsa (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan dalam jangka panjang dapat menjamin kemandirian dan ketahanan penduduk membentuk manusia Indonesia yang sehat dan membebaskan ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap dokter dan obat.
Upaya kesehatan yang dalam jangka panjang mampu mendorong masyarakat untuk lebih memiliki pengetahuan untuk dapat menghindari diri dari penyakit serta membawa masyarakat untuk lebih tahan terhadap penyakit, untuk hidup secara produktif. Upaya kesehatan yang demikian dalam jangka panjang akan menempatkan kesehatan di arus tengah pembangunan. Upaya kesehatan berparadigma sehat yang dalam jangka panjang akan menjamin kemandirian yang lebih besar dan akan meningkatkan ketahanan mental dan fisik dari penduduk dan bermuara pada terciptanya SDM manusia Indonesia yang berkualitas.
Perubahan paradigma yang diungkapkan oleh Menkes di DPR baru-baru ini diharapkan benar-benar merupakan titik balik kebijakan Depkes dalam menangani kesehatan penduduk yang berarti program kesehatan yang menitikberatkan pada pembinaan kesehatan bangsa (shaping the health of the nation), dan bukan sekedar penyembuhan penyakit. Thomas Kuhn dalam bukunya yang sangat berpengaruh: “The Structur of Scientific Revolution", seperti yang dikutip oleh Covey menyatakan bahwa hampir pada setiap terobosan baru perlu didahului dengan perubahan paradigma untuk memecahkan atau merubah kebiasaan dan cara berpikir yang lama.
Membina bangsa yang sehat (shaping the health of the nation) jauh lebih luas dari sekedar upaya penyembuhan penduduk yang sakit. Membina kesehatan suatu bangsa atau menciptakan bangsa yang sehat, cerdas, trampil tidak bisa dilaksanakan oleh sektor kesehatan saja. Mencerdaskan bangsa yang sehat bukan merupakan tanggungjawab Depkes saja. Menciptakan bangsa yang sehat perlu dilakukan dengan pendekatan holistik, multi sektor dan “release approach” yaitu menciptakan bangsa yang sehat, produktif , mandiri, lebih tahan terhadap penyakit, bebas dari ketergantungan terhadap obat dan pelayanan medis yang berlebihan.
Upaya kesehatan di masa datang harus mampu menciptakan dan menghasilkan SDM Indonesia yang sehat produktif. Sehingga obsesi upaya kesehatan harus dapat mengantarkan setiap penduduk memiliki status kesehatan yang cukup. Orientasi baru upaya kesehatan adalah orientasi menyehatkan penduduk suatu orientasi sehat positif. Sebagai kebalikan dari orientasi pengobatan penyakit yang bersifat kuratif, membetulkan, memperbaiki atau mengembalikan sesuatu yang terjadi.
Selama ini masyarakat diberi anggapan bahwa kesehatan merupakan tanggungjawab pemerintah karena pemerintahlah yang selalu menyediakan pelayanan kesehatan jika mereka sakit. Masyarakat seolah-olah dibiarkan “dihujani “ dengan iklan obat-obat yang menyesatkan tanpa ada iklan sebaliknya. Sehingga setiap individu dalam masyarakat tidak berusaha atau tidak tahu untuk mempraktekkan gaya hidup sehat seperti olahraga, makan makanan sehat, tidak merokok dan istirahat yang cukup. Pemerintah harus ikut bertanggungjawab atas terciptanya gaya hidup sehat di kalangan masyarakat yang selama ini kurang dilakukan secara sungguh-sungguh .
Pada masa krisis sekarang ini di mana obat dan pengobatan menjadi mahal, keluarga-keluarga dipaksa untuk membuat keputusan yang bijak untuk membelanjakan uangnya yang terbatas, seharusnya pemerintah lebih menekankan pada pendidikan dan penyuluhan kesehatan agar masyarakat mampu menghindarkan diri dari penyakit, tidak mudah jatuh sakit, dan melaksanakan kebiasaan hidup sehat agar biaya pengobatan bisa dihemat.
Untuk dapat menilai berapa banyak penduduk yang sehat tidak mungkin digunakan angka kematian dan angka kesakitan penduduk. Untuk dapat mengukur status kesehatan penduduk yang tepat perlu digunakan indikator positif (sehat), dan bukan hanya indikator negatif (sakit, mati) yang dewasa ini masih dipakai. WHO menyarankan agar sebagai indikator kesehatan penduduk harus mengacu pada 4 hal sebagai berikut:
menentukan terhadap status kesehatan penduduk.
Sayangnya bahwa perubahan pemahaman dan pengetahuan tentang determinan kesehatan tersebut, meskipun jelas-jelas mempunyai nilai positif tidak segera diikuti dalam perubahan kebijakan dalam upaya pelayanan kesehatan di Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan bahwa para pengambil keputusan di tingkat pusat dalam sektor kesehatan belum memahami akan perubahan paradigma yang terjadi setelah tahun tujuh puluhan . Bahkan walaupun GBHN 1993 tujuan program kesehatan telah berubah namun upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah belum berubah juga, hal ini terlihat dengan belum ditanganinya pembuatan sejumlah PP yang penting dalam UU Kesehatan No. 23 1992, terutama yang berkaitan dengan upaya promotif dan preventif.
- UPAYA KESEHATAN YANG ADA
Upaya kesehatan yang berorientasi pada penanggulangan penyakit, indikator yang yang sering digunakan adalah cakupan pelayanan, ratio dokter per penduduk serta banyaknya rumah sakit, banyaknya Puskesmas dan sebagainya.
Sebenarnya apabila kita mau berpikir secara kritis, banyaknya dokter, rumah sakit, puskesmas dan balai pengobatan tidak menjamin masyarakat menjadi sehat. Upaya kesehatan dengan pendekatan penyembuhan penyakit membuat upaya kesehatan dinilai sebagai konsumtif bukan produktif dan menempatkan pelayanan kesehatan di arus pinggir dari pembangunan. Perubahan paradigma upaya kesehatan secara nyata seharusnya sudah harus dimulai sejak berlakunya GBHN 1993 sejak pemerintah menginginkan bahwa upaya kesehatan ditujukan untuk membentuk SDM yang berkualitas.
Oleh karena itu pemerintah sekarang perlu segera merencanakan perubahan upaya kesehatan yang berorientasi pada pembinaan kesehatan bangsa (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan dalam jangka panjang dapat menjamin kemandirian dan ketahanan penduduk membentuk manusia Indonesia yang sehat dan membebaskan ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap dokter dan obat.
Upaya kesehatan yang dalam jangka panjang mampu mendorong masyarakat untuk lebih memiliki pengetahuan untuk dapat menghindari diri dari penyakit serta membawa masyarakat untuk lebih tahan terhadap penyakit, untuk hidup secara produktif. Upaya kesehatan yang demikian dalam jangka panjang akan menempatkan kesehatan di arus tengah pembangunan. Upaya kesehatan berparadigma sehat yang dalam jangka panjang akan menjamin kemandirian yang lebih besar dan akan meningkatkan ketahanan mental dan fisik dari penduduk dan bermuara pada terciptanya SDM manusia Indonesia yang berkualitas.
- KEBIJAKAN KESEHATAN 'BARU'
Perubahan paradigma yang diungkapkan oleh Menkes di DPR baru-baru ini diharapkan benar-benar merupakan titik balik kebijakan Depkes dalam menangani kesehatan penduduk yang berarti program kesehatan yang menitikberatkan pada pembinaan kesehatan bangsa (shaping the health of the nation), dan bukan sekedar penyembuhan penyakit. Thomas Kuhn dalam bukunya yang sangat berpengaruh: “The Structur of Scientific Revolution", seperti yang dikutip oleh Covey menyatakan bahwa hampir pada setiap terobosan baru perlu didahului dengan perubahan paradigma untuk memecahkan atau merubah kebiasaan dan cara berpikir yang lama.
Membina bangsa yang sehat (shaping the health of the nation) jauh lebih luas dari sekedar upaya penyembuhan penduduk yang sakit. Membina kesehatan suatu bangsa atau menciptakan bangsa yang sehat, cerdas, trampil tidak bisa dilaksanakan oleh sektor kesehatan saja. Mencerdaskan bangsa yang sehat bukan merupakan tanggungjawab Depkes saja. Menciptakan bangsa yang sehat perlu dilakukan dengan pendekatan holistik, multi sektor dan “release approach” yaitu menciptakan bangsa yang sehat, produktif , mandiri, lebih tahan terhadap penyakit, bebas dari ketergantungan terhadap obat dan pelayanan medis yang berlebihan.
Upaya kesehatan di masa datang harus mampu menciptakan dan menghasilkan SDM Indonesia yang sehat produktif. Sehingga obsesi upaya kesehatan harus dapat mengantarkan setiap penduduk memiliki status kesehatan yang cukup. Orientasi baru upaya kesehatan adalah orientasi menyehatkan penduduk suatu orientasi sehat positif. Sebagai kebalikan dari orientasi pengobatan penyakit yang bersifat kuratif, membetulkan, memperbaiki atau mengembalikan sesuatu yang terjadi.
- KONSEKUENSI DAN IMPLIKASI DARI PERUBAHAN PARADIGMA
Selama ini masyarakat diberi anggapan bahwa kesehatan merupakan tanggungjawab pemerintah karena pemerintahlah yang selalu menyediakan pelayanan kesehatan jika mereka sakit. Masyarakat seolah-olah dibiarkan “dihujani “ dengan iklan obat-obat yang menyesatkan tanpa ada iklan sebaliknya. Sehingga setiap individu dalam masyarakat tidak berusaha atau tidak tahu untuk mempraktekkan gaya hidup sehat seperti olahraga, makan makanan sehat, tidak merokok dan istirahat yang cukup. Pemerintah harus ikut bertanggungjawab atas terciptanya gaya hidup sehat di kalangan masyarakat yang selama ini kurang dilakukan secara sungguh-sungguh .
Pada masa krisis sekarang ini di mana obat dan pengobatan menjadi mahal, keluarga-keluarga dipaksa untuk membuat keputusan yang bijak untuk membelanjakan uangnya yang terbatas, seharusnya pemerintah lebih menekankan pada pendidikan dan penyuluhan kesehatan agar masyarakat mampu menghindarkan diri dari penyakit, tidak mudah jatuh sakit, dan melaksanakan kebiasaan hidup sehat agar biaya pengobatan bisa dihemat.
- INDIKATOR KESEHATAN
Untuk dapat menilai berapa banyak penduduk yang sehat tidak mungkin digunakan angka kematian dan angka kesakitan penduduk. Untuk dapat mengukur status kesehatan penduduk yang tepat perlu digunakan indikator positif (sehat), dan bukan hanya indikator negatif (sakit, mati) yang dewasa ini masih dipakai. WHO menyarankan agar sebagai indikator kesehatan penduduk harus mengacu pada 4 hal sebagai berikut:
- Melihat ada tidaknya kelainan pathofisiologis pada seseorang,
- Mengukur kemampuan fisik seseorang seperti kemampuan aerobik, ketahanan, kekuatan dan kelenturan sesuai dengan umur.
- Penilaian atas kesehatan sendiri dan
- Indeks Massa Tubuh [(BMI): B.kg/(T.m2)]
Dewasa ini mulai dipertanyakan keterkaitan antara IMR yang rendah dengan bayi sehat Penelitian di Afrika menemukan bahwa 26% dari bayi yang dapat diselamatkan (tidak mati) ternyata cacad.
Demikian halnya dengan peningkatan umur harapan hidup waktu lahir. WHO menegaskan bahwa peningkatan umur harapan hidup itu harus diartikan sebagai bertambahnya produktivitas dan bukan sekedar bertambah umur tapi sakit-sakitan. WHO menyebutkan bahwa perpanjangan umur harus diartikan sebagai ”add life to years rather than merely add years to life” Di samping itu penambahan umur harus pula diartikan sebagai penambahan ”years of disability free life” dan bukan penambahan “years of disabled life”
Tenaga kesehatan ini harus mampu mengajak, memotivasi dan memberdayakan masyarakat, mampu melibatkan kerja sama lintas sektoral, mampu mengelola sistem pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien, mampu menjadi pemimpin, pelopor, pembina dan teladan hidup sehat. Tenaga kesehatan tersebut harus berwawasan menciptakan bangsa yang sehat, bukan sekedar penyembuhan penyakit. Membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat baik yang “sakit” maupun yang “tidak sakit”, agar lebih sehat, kreatif dan produktif.
Menciptakan lingkungan hidup yang sehat yang memungkinkan masyarakat dapat sehat juga hanya bisa dengan partisipasi aktif masyarakat. Pada dasarnya dengan peran serta aktif masyarakat dengan memberdayakan akan dapat diciptakan masyarakat yang sehat, masyarakat yang lebih tahan terhadap penyakit, masyarakat yang dapat menghindari diri dari penyakit.
Dalam pembinaan dan pemberdayaan masyarakat yang sangat penting adalah bagaimana mengajak dan menggairahkan masyarakat untuk dapat tertarik dan bertanggung jawab atas kesehatan mereka sendiri dengan memobilisasi sumber dana dan daya yang ada pada mereka.
Dewasa ini masih terasa adanya anggapan bahwa unsur kesehatan penduduk tidak banyak berperan terhadap pembangunan sosial ekonomi. Para penentu kebijakan banyak yang beranggapan sektor kesehatan lebih merupakan sektor konsumtif ketimbang sektor produktif sebagai penyedia sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga apabila ada keguncangan dalam keadaan ekonomi negara alokasi terhadap sektor ini tidak akan meningkat.
Sementara itu para pakar kesehatan belum mampu memperlihatkan secara jelas manfaat investasi bidang kesehatan dalam menunjang pembangunan negara. Kesenjangan derajat kesehatan masyarakat antar wilayah atau spesial perlu segera diatasi. Investasi yang selama ini lebih ditekankan pada penambahan fasilitas, peralatan dan tenaga medis perlu dipelajari kembali. Banyak rumah sakit, puskesmas, poliklinik, bidan dan dokter bukan merupakan jaminan meningkatnya kesehatan penduduk.
Oleh karena itu tidak berlebihan agaknya kalau saya katakan disini bahwa pemecahan masalah kesehatan tidak bisa ditemukan di bangsal-bangsal rumah sakit ataupun ruang tunggu poliklinik atau puskesmas melainkan di Departemen Kesehatan, Kanwil, Dinas Kesehatan dan juga di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Pergeseran paradigma dari pelayanan medis ke pembangunan kesehatan memerlukan pembaharuan komitmen politik dari pemerintah.
Membina kesehatan bangsa jauh lebih luas dari menangani penyakit oleh karena tidak dapat ditangani oleh sektor yang bersangkutan saja. Menyiapkan generasi baru yang sehat, cerdas, terampil perlu dilaksanakan secara multi sektor.
Di masa pemerintahan orde baru lalu kendatipun diungkapkan secara jelas bahwa pembangunan di Indonesia adalah merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya namun dalam kenyataan yang diutamakan adalah pembangunan ekonomi semata dan bukan pada “Human Capital Investment”
Apabila kita ingin membangun bangsa Indonesia (Shaping the health of the nation) yang berkualitas maka pembangunan yang semula berorientasi pada GNP Growth perlu dirubah menjadi Human Capital Growth yaitu: health, education and social security.
Pengembangan Human Capital merupakan prasyarat dasar dan penting untuk meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Mengingat masalah kesehatan adalah masalah politik maka penyelesaian masalah kesehatan tidak berada di bangsal rumah sakit, puskesmas, ataupun di lapangan tetapi di gedung Departemen Kesehatan, Kanwil, Dinas Kesehatan dan di DPR dan kesediaan melakukan perubahan pada seluruh jajaran pengelola kesehatan.
Perubahan paradigma hanya akan terjadi bila diikuti dengan perubahan orientasi para pengambil keputusan, perubahan peraturan perundangan yang mungkin terjadi perubahan pendekatan, pengorganisasian, fasilitas, ketenagaan dan alokasi pembiayaan yang akhir ini menjadi kunci tercapainya perubahan.
Mudah-mudahan uraian tersebut bermanfaat bagi upaya peningkatan Program Promosi Kesehatan di Indonesia.
Jakarta, 16 Desember 1998
Prof Dr. Does Sampoerno, MPH
Demikian halnya dengan peningkatan umur harapan hidup waktu lahir. WHO menegaskan bahwa peningkatan umur harapan hidup itu harus diartikan sebagai bertambahnya produktivitas dan bukan sekedar bertambah umur tapi sakit-sakitan. WHO menyebutkan bahwa perpanjangan umur harus diartikan sebagai ”add life to years rather than merely add years to life” Di samping itu penambahan umur harus pula diartikan sebagai penambahan ”years of disability free life” dan bukan penambahan “years of disabled life”
- TENAGA KESEHATAN
Tenaga kesehatan ini harus mampu mengajak, memotivasi dan memberdayakan masyarakat, mampu melibatkan kerja sama lintas sektoral, mampu mengelola sistem pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien, mampu menjadi pemimpin, pelopor, pembina dan teladan hidup sehat. Tenaga kesehatan tersebut harus berwawasan menciptakan bangsa yang sehat, bukan sekedar penyembuhan penyakit. Membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat baik yang “sakit” maupun yang “tidak sakit”, agar lebih sehat, kreatif dan produktif.
- PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Menciptakan lingkungan hidup yang sehat yang memungkinkan masyarakat dapat sehat juga hanya bisa dengan partisipasi aktif masyarakat. Pada dasarnya dengan peran serta aktif masyarakat dengan memberdayakan akan dapat diciptakan masyarakat yang sehat, masyarakat yang lebih tahan terhadap penyakit, masyarakat yang dapat menghindari diri dari penyakit.
Dalam pembinaan dan pemberdayaan masyarakat yang sangat penting adalah bagaimana mengajak dan menggairahkan masyarakat untuk dapat tertarik dan bertanggung jawab atas kesehatan mereka sendiri dengan memobilisasi sumber dana dan daya yang ada pada mereka.
- KESEHATAN DAN KOMITMEN POLITIK
Dewasa ini masih terasa adanya anggapan bahwa unsur kesehatan penduduk tidak banyak berperan terhadap pembangunan sosial ekonomi. Para penentu kebijakan banyak yang beranggapan sektor kesehatan lebih merupakan sektor konsumtif ketimbang sektor produktif sebagai penyedia sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga apabila ada keguncangan dalam keadaan ekonomi negara alokasi terhadap sektor ini tidak akan meningkat.
Sementara itu para pakar kesehatan belum mampu memperlihatkan secara jelas manfaat investasi bidang kesehatan dalam menunjang pembangunan negara. Kesenjangan derajat kesehatan masyarakat antar wilayah atau spesial perlu segera diatasi. Investasi yang selama ini lebih ditekankan pada penambahan fasilitas, peralatan dan tenaga medis perlu dipelajari kembali. Banyak rumah sakit, puskesmas, poliklinik, bidan dan dokter bukan merupakan jaminan meningkatnya kesehatan penduduk.
Oleh karena itu tidak berlebihan agaknya kalau saya katakan disini bahwa pemecahan masalah kesehatan tidak bisa ditemukan di bangsal-bangsal rumah sakit ataupun ruang tunggu poliklinik atau puskesmas melainkan di Departemen Kesehatan, Kanwil, Dinas Kesehatan dan juga di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Pergeseran paradigma dari pelayanan medis ke pembangunan kesehatan memerlukan pembaharuan komitmen politik dari pemerintah.
Membina kesehatan bangsa jauh lebih luas dari menangani penyakit oleh karena tidak dapat ditangani oleh sektor yang bersangkutan saja. Menyiapkan generasi baru yang sehat, cerdas, terampil perlu dilaksanakan secara multi sektor.
Di masa pemerintahan orde baru lalu kendatipun diungkapkan secara jelas bahwa pembangunan di Indonesia adalah merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya namun dalam kenyataan yang diutamakan adalah pembangunan ekonomi semata dan bukan pada “Human Capital Investment”
Apabila kita ingin membangun bangsa Indonesia (Shaping the health of the nation) yang berkualitas maka pembangunan yang semula berorientasi pada GNP Growth perlu dirubah menjadi Human Capital Growth yaitu: health, education and social security.
Pengembangan Human Capital merupakan prasyarat dasar dan penting untuk meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
- PENUTUP
Mengingat masalah kesehatan adalah masalah politik maka penyelesaian masalah kesehatan tidak berada di bangsal rumah sakit, puskesmas, ataupun di lapangan tetapi di gedung Departemen Kesehatan, Kanwil, Dinas Kesehatan dan di DPR dan kesediaan melakukan perubahan pada seluruh jajaran pengelola kesehatan.
Perubahan paradigma hanya akan terjadi bila diikuti dengan perubahan orientasi para pengambil keputusan, perubahan peraturan perundangan yang mungkin terjadi perubahan pendekatan, pengorganisasian, fasilitas, ketenagaan dan alokasi pembiayaan yang akhir ini menjadi kunci tercapainya perubahan.
Mudah-mudahan uraian tersebut bermanfaat bagi upaya peningkatan Program Promosi Kesehatan di Indonesia.
Jakarta, 16 Desember 1998
Prof Dr. Does Sampoerno, MPH
0 Komentar