Ticker

20/Tanya Dokter/ticker-posts

Dokter bisa salah, pasien tidak selalu benar

Banyak kasus ketidaknyamanan pasien diberitakan di media massa. Bahwa layanan medis cenderung merugikan pasien. Sebagian kasus memang akibat kealpaan pihak medis. Namun, tidak setiap kasus merupakan kesalahan pihak medis. Apa alasannya?

Pak Mus berobat karena nyeri sendi. Diagnosis dokter, dia sakit encok. Dua jam setelah minum obat, ia merasa uluhatinya melilit, lalu muntah hebat dan berkeringat dingin. Pak Mus kembali ke dokter. Setelah memeriksa, dokter merujuknya ke rumah sakit, menduga ada perdarahan usus. Tinjanya hitam, di muntahannya ada bercak darah.

Di rumah sakit, lambung dan usus Pak Mus diteropong. Benar, lambung dan ususnya mengalami perdarahan, efek samping obat encok yang diresepkan dokter. Dokter tidak tahu Pak Mus sakit lambung. Dokter tak bertanya tentang itu, selain tidak memberitahu minum obat harus sehabis makan.

Di Indonesia, kasus serupa Pak Mus banyak terjadi karena komunikasi dokter-pasien tidak berlangsung. Pasien tidak punya "paspor medis" (riwayat medis). Pasien juga tak punya dokter keluarga, selain tidak selalu berobat ke dokter yang sama. Dokter kelewat banyak pasien, sehingga tak sempat bicara.

Kecelakaan akibat pasien kurang informasi ihwal penyakit dan obatnya, itulah yang sering memunculkan kasus seperti Pak Mus. Kalau pasien punya paspor medis, dokter dapat membaca rekaman penyakitnya, alergi apa, kelainan apa, kejadian merugikan pasien bisa minimal. Dari situ dokter dapat menghindari kemungkinan buruk yang bakal merugikan pasien, baik dari tindakan medis maupun obat yang diresepkan.

Kurang informasi
Dokter memeriksa pasien sedikitnya 20 menit sesuai yang diajarkan (legal artis). Kalau pasiennya berpuluh-puluh, apalagi ratusan, mana mungkin profesional?


Kealpaan bisa muncul dari praktik seperti itu. Termasuk salah menulis resep, luput mendiagnosis (misdiagnosis), dan pasien gagal sembuh. Di negara maju ada regulasi pembatasan jumlah pasien sehari untuk melindungi mereka dari praktik tidak profesional.

Kasus serupa menimpa pasien alergi. Terhadap pasien yang baru dikenal, dokter kurang bertanya. Dokter tidak tahu kalau pasien punya bakat alergi. Bisa terjadi obat yang diresepkan mencetuskan Steven Johnson. Kulit pasien melepuh sekujur badan. Jenis alergi hebat yang sukar diramalkan, betapa hebat pun dokternya. Pasien mengira dokter salah memberi obat.

Seorang profesor di rumah sakit besar salah membaca hasil rontgen bukan karena kurang ilmu, melainkan bobot ratusan foto yang harus dibaca setiap hari. Serupa dokter puskesmas, bisa tidak memuaskan pasien kalau yang diperiksa sehari ratusan orang.

Kasus lain, pascaoperasi pasien mengalami perdarahan karena dokter meninggalkan pasien dan berpindah ke rumah sakit lain. Lumrah kalau dokter Indonesia seperti kutu loncat. Dokter berpraktik di beberapa tempat karena dari gaji tidak bisa tampil sebagai profesional bercitra dokter.

Bisnis moral
Profesi dokter itu trust. Jika tampil tidak sesuai citra, mana pasien percaya? Dokter naik ojek disangsikan, kendati lulus cum laude. Tak heran, ada dokter potong kompas, berpraktik kurang patut demi mengejar pendapatan, meski tahu itu menyimpang dan tidak etis.

Wajar kalau masyarakat menuntut lebih pada profesi dokter. Namun, kalau dokter praktik sampai jauh malam, mana mungkin bisa profesional memeriksa? Pasien lupa kalau transaksi dokter terhadap pasien tergolong transaksi terapetik, tidak ada jaminan harus dan pasti sembuh, seperti halnya montir mereparasi mobil.

Bukan tak mungkin dokter yang awalnya memahami pekerjaannya itu sebagai bisnis moral, berubah jadi bisnis melaba. Padahal, sejak mula sumpah dokter sudah dipahami; tidak boleh mencari profit dari profesinya, meluhurkan harkat hidup insani, dan menghormati kehidupan.

Bila dalam praktiknya dokter menyimpang, itu karena dengan cara normal tidak membuatnya bercitra dokter. Dokter di Singapura untuk konsultasi saja paling kurang menerima 70 dolar. Dokter menantang pasien untuk bertanya sampai puas. Dokter Indonesia, kalau bisa pasien tak perlu bertanya karena honornya kecil.

Industrial medical complex
Selain faktor di atas, dokter juga tergoda oleh masuknya industri medis. Layanan medis berubah jadi komoditi mencari laba karena harus berhitung ketika rumah sakit berinvestasi alat-alat canggih. Padahal, pesan luhur bagi setiap dokter berbunyi: "Menjadi dokter tentu baik. Menjadi pedagang juga baik. Tetapi, menjadi dokter yang pedagang tentu tidak baik."

Salah industri medis kalau banyak dokter berdagang dalam profesinya. Ada rumah sakit mewah yang leluasa mengejar profit dari layanan medisnya, selain ada rumah sakit pemerintah; sehingga memunculkan kecemburuan sosial.

Overutilisasi alat kedokteran demi mengejar titik-impas lazim dilakukan rumah sakit yang jadi industri. Yang tidak perlu, malah diperiksa. Pasien sehat masuk rumah sakit, malah jadi sakit. Manipulasi berbagai cara karena pasien berada di posisi lemah.

Pasien tidak tahu apa pun yang diminta dokter atau rumah sakit. Pasien perlu diberdayakan, dan dokter tulus memberi banyak informasi ihwal apa yang akan dilakukannya sehubungan dengan penyakitnya.

Pasien tidak puas terhadap dokter atau rumah sakit lebih karena informasi tidak jalan. Informasi tidak jalan bisa saja menimbulkan kesalahpahaman pasien sehubungan penyakitnya. Tidak tahu apa gunanya obat, bagaimana obat bekerja, dan apa efek sampingnya, padahal itu menjadi hak pasien. Pasien sering kehilangan haknya, bahkan hak bertanya sekalipun; karena dokter kehabisan waktu.

Kesenjangan kompetensi
Hubungan pasien dan dokter bersifat senjang dalam kompetensi. Apa pun yang dokter minta, pasien menuruti. Termasuk bila dokternya nakal. Memanfaatkan kelemahan pasien, merongrong dokter menjadi berlaku culas. Tak ada indikasi operasi dibilang harus operasi, toh pasien tidak tahu.


Untuk mengatasinya pasien perlu dibuat lebih cerdas ihwal medis, supaya kesenjangan kompetensi tak terlalu jauh. Untuk itu pasien dibiasakan minta pendapat kedua.

Tentu tidak semua dokter nakal dan culas. Kalau pendapat medis berbeda, pasien akan lebih skeptis dan kritis. Studi mengatakan, makin kritis dan skeptis pasien bisa membuat dokter lebih waspada dan tidak sembarangan berpraktik.

Dalam pofesionalisme medis, sumpah dokter saja tidak cukup. Hukum dan regulasi saja belum tentu ampuh. Hulunya ada pada hati nurani. Dokter sendiri yang tahu apakah yang dilakukannya tidak menyimpang. Hati nurani saja yang mengalahkan sikap membiarkan diri berpraktik sampai subuh, memanfaatkan kelemahan pasien, atau mencari untung dari ketidaktahuan pasien.

Ada baiknya dokter praktik bersama agar ada tilik-sejawat (peer review), supaya tak seenaknya memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Di negara maju dokter dibayangi ketakutan akan tuntutan bila berpraktik sembrono, apalagi mengambil laba dari pasien.

Sumber: SENIOR | Oleh: Handrawan Nadesul - Dokter "Spesialis Umum"


Posting Komentar

3 Komentar

  1. sekarang ini banyak hasil foto rotgen dibaca oleh dokter umum atau dokter yang bukan bidangnya, yang berhak baca itu dokter radiologi karena apa? ilmu mereka lebih banyak dibandingkan dengan dokter spesialis lain tentang hal tersebut, saya beberapa kali sudah berobat ke luar negeri hasil diagnosa disini salah dan saya bandingkan hasil yang dibaca roleh spesialis radiologi hampir 90% benar, tapi hasil bacaan dari dokter non radiologi 60% saja yang benar, satu lagi dokter di negara kita apalagi lulusan spesialis luar pulau jawa susah kerja sama sesama spesialis memereka berani memutuskan penyakit pasien dengan gejala penyakit dan bacaan foto atau usg yang salah notabene mereka kurang ilmu. mereka dapatkan dari koas 3 bulan, dibandingkan dokter radiologi 5 tahun, sekarang banyak rumah sakit di in indonesia, tapi ada rumah sakit yang ngak ada dokter radiologi dan dokter patalogi klinik. sebaiknya rumah sakit tersebut jangan melayani pasien karena mereka diagnosa penyakit dari gejalanya saja. padahal penyakit diketahui dari radiologi, darah dan urine. nah kalau radiologi ngak ada dan lab ngak ada, apa betul rumah sakit itu. nah gimana?

    BalasHapus
  2. dokter bisa salah pasien tak selalu benar, hanya bahas pasien dengan dokter. tidak ada membahas mengingatkat dokter lain jangan suka ambil kompentensi orang ada secon opini hanya sesama spesialis yang sama di bidangnya... atau ada keja sama team work, hukum apa bila diagnosa salah dan hukum apa bila kompentensinya ngak sama, tidakan apa harus diberilkan kedokter tersebut, TQ

    BalasHapus
  3. Telah terjadi lagi malpraktek yang saya lihat di website Pengadilan pendaftaran perkara jakarta timur gugat no... 182/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Tim
    setahu saya yg sering terjadi malpraktek kebanyakan seperti kesalahan dalam operasi/tindakan medik . tetapi yang ini beda.. seorang dokter orthopedy tidak bisa membaca rontgent sehingga salah mendiagnosa , meskipun sudah 7 kali rontgent, tidak tahu bahwa kaki si pasien " nampak adanya fraktur/patah pada tulang pedis" . sehingga menyebabkan cacat pada kaki si pasien seumur hidup. pasien sudah rs dan dr menggugat dan meminta ganti rugi sebesar 60 Milyar.
    menurut saya kalo orang takut utnuk melakukan opersasi karna sering terjadi malpraktek di rumah sakit . tapi yg ini terbaru masalah mal praktek dokter yg tidak bisa baca rontgent yg dibuat rontgent 7 kali seperti yg terjadi pada pasien tersebut.

    BalasHapus

Ad Code